Tragedi 11-11-11: Tentang keberanian bersikap dan bertanggung jawab

 Tragedi 11-11-11: Tentang keberanian bersikap dan bertanggung jawab

Desclaimer: Tulisan ini sangat panjang, kalau gak suka membaca, silahkan di skip. hehe

Pernahkah kalian melihat sekolah saolin. Isinya anak-anak yang belajar bela diri dan kepalanya botak-botak semua itu loh. Kalau anak 90an sampai 2000an pasti senang banget nonton film saolin. Bagus dan sangat mengesankan. Ini juga satu hal yang membuat saya sangat suka belajar bela diri karate, pencak silat, hingga wushu.

Tragedi 11 ini adalah tragedi yang terjadi di pesantren saya. tepatnya 11 tahun lalu. Tanggal 11 November 2011, angka yang cukup keramat sebetulnya. Saat itu, pondok pesantren saya berubah jadi sekolah Saolin. Bukan karena kita belajar saolin semua. Tapi karena seisi pesantren di botak karena pulang kampung.

Beberapa hari sebelumnya adalah Hari Raya Idul Adha. Hari suci bagi ummat Islam dan tentu saja bagi kami yang nyantri di pondok pesantren. Seperti biasa, sebetulnya dalam regulasi dan aturan pesantren memang kami tidak ada jatah libur, kecuali libur Idul Fitri dan Libur kenaikan kelas.

Namun pesantren membolehkan kami semua untuk izin mengunjungi keluarga selama 3 hari. Biasanya, bagi santri yang berasal dari lombok bisa pulang. Karena waktu 3 hari lebih dari cukup untuk mengunjungi keluarga. Tapi bagi santri dari luar Lombok, rasanya sangat tidak cukup. Karena sehari di jalan untuk pulang, sehari di rumah, sehari balik. hahaha

Malapetaka TRAGEDI 11 itu di mulai. Malam hari itu semua orang dikumpulkan. Saya waktu itu menjadi KEPALA dan PANGLIMA QISMUL AMNI atau Bagian Keamanan di Pesantren. Untuk yang pernah nyantri, pasti tahu betapa menyeramkannya bagian keamanan. Orang yang disetting untuk jarang senyum, menjamin keamanan pesantren baik dari luar maupun dari dalam. Semua urusan hukuman ada di QISM AMNI.

Perkumpulan hari itu tidak melibatkan kami, bagian keamanan. Langsung diambil alih oleh pembina, lurah, dan pimpinan pesantren. Setelah semua orang berkumpul di depan gedung pustaka. Seorang pimpinan langsung bertanya, “Siapa yang kemarin pulang TANPA SURAT IZIN dari QISM AMNI?” Tanya beliau.

Celaka dalam hati saya. “Siapa yang merancang ini semua?” Gumam saya waktu sembari membisiki Susanto sebagai salah satu staf Keamanan. “Gak tau.” Kata Susanto sembari tetap dalam posisi siap dan sigap.

“Baik. Siapa yang tidak pulang silahkan naik keatas dan berdiri di belakang saya.” Ujar kepala sekolah SMP saat itu.

Beberapa orang akhirnya bergerak menuju teras (kebetulan terasnya tinggi dan sekalian menjadi panggung upacara) Gedung Pustaka. Sedangkan saya dan Susanto tidak mau berpindah. Tetap di depan. Hanya Rudini, salah satu petinggi organisasi yang tidak pulang dalam catatan kami. Selebihnya adalah orang kampung atau orang dalam lingkaran pesantren yang memang rumahnya ada disitu.

Ternyata semua santri pulang. Tidak terkecuali saya dan susanto yang memang keluar pesantren saat itu. Sebagaimana yang telah Bagian Keamanan umumkan selepas Sholat Idul Adha, bahwa tidak ada yang boleh pulang tanpa membawa surat izin dan setelah acara potong hewan qurban selesai.

“Semua yang pulang tanpa surat IZIN wajib DIBOTAK.” Kata Kepala Sekolah.
Sebenarnya saya tidak salah. Tapi inilah tanggung jawab. Pesantren pun tidak menyasar saya. Pesantren tahu selama 1 tahun terakhir, KEAMANAN memiliki GRADE yang sangat tinggi dalam menjalankan tugas dan amanah. Lebih-lebih tingkat pelanggaran di pesantren sangat rendah dan tidak ada yang kabur.

Namun malam itu membuyarkan semuanya. Saya pun lupa dimana posisi saya dan semua bagian keamanan lainnya. Hingga beberapa santri teriak, “KEAMANAN HILANG! Kami pulang karena Keamanan tidak ada di tempat.” Teriak salah seorang santri.

Setelah ribuan suara itu protes, saya pun memberanikan diri untuk maju ke depan. Berbicara dan menenangkan khalayak. “Semua DIAM!” Teriak saya diikuti 3 orang bagian keamanan lain. “Ada yang berani bicara lagi maju ke depan.” Tambah saya waktu itu.

Setelah semua diam, saya mulai bicara. “Saya mewakili keamanan ingin meminta maaf kepada pesantren dan seluruh Teman-teman. Kami lupa waktu itu kami berada dimana. Ntah di tempat penjagalan, tempat pembersihan hewan, atau tempat masak. Yang pasti, kami tidak hilang. Kami juga tidak tahu siapa yang pulang duluan, dan pulang belakangan setelah acara. Tapi saya tahu persis ada yang pulang setelah acara selesai.” Ucap saya panjang lebar.

“Karena ini tanggung jawab dan amanah. Maka kami memutuskan, KAMI YANG PERTAMA DIBOTAK.” Teriak saya waktu itu sembari duduk di depan kepala sekolah diikuti oleh seluruh staf KEAMANAN.

Saya di botak. Bukan karena kesalahan. Tapi karena keberanian mengambil sikap atas amanah dan tanggung jawab yang tledor kami kerjakan. Suasana hening waktu itu ramai kembali dengan riakan ketawa dari beberapa orang yang ada di belakang pimpinan, mereka yang tidak pulang karena rumahnya di sekitar pesantren, dan mereka yang tidak pulang bagian dari pesantren. “Jerih, banga, pelot (bahasa sasak: kapok, goblok dsb).” Kata seseorang sembari disambut kata-kata tidak mengenakkan lain dan riuh ketawa dari orang2 yang sangat senang kami dihukum. “Pahlawan kemaleman.” Sambut lagi salah satu santri dibelakang pimpinan.

Saya dan teman-teman lain diam sembari menikmati suara gunting yang bersahutan mencukur rambut kami. Saat itu, saya hanya ingat guru di SMP saya berpesan, “Berani itu tidak hanya saat itu benar, tapi saat kita salah.”

Selepas kami dibotak, seluruh santri di belakang kami berbondong-bondong ingin dibotak. Secara PSIKIS mereka merasa salah. Padahal 1/3 dari mereka adalah orang yang tidak pulang sebelum diizinkan. Tapi tetap saja, mereka tidak membawa surat izin yang SAH dari BAGIAN KEAMANAN.

Terimakasih TRAGEDI 11, Para Guru dan PIMPINAN yang mengingatkan kami dikala kami selalu diatas dan tiada banding saat itu. 11 tahun berlalu, tapi tetap melekat dan mengajarkan banyak hal soal tanggung jawab dan amanah. Terkadang orang yang kita olok dan ketawakan adalah orang yang akan jauh berada diatas kita dan lebih atas darinkita. Percaya deh!

11-11-2011 | 11-11-2021



Melalui tulisan ini, secara spesial saya ingin berterimakasih kepada Ustad Habiburrahman (selaku kepala SMP dan pimpinan pesantren), Ustad Kholil, Ustad Toto, Ustad Muhammad Tuzri (Selaku pembina Asrama dan sebagai penggerak hukuman ini), serta mentor saya, ustad Hayyi yang saat itu mengevaluasi dan menasehati kami. Hegemoni, kebesaran, hingga tingginya posisi terkadang membuat kita lupa. Dan orang hebat itu adalah orang yang selalu memetik HIKMAH.

Related post